Minggu, 18 April 2010

IMPIAN-IMPIAN DARI YOGYAKARTA

Judul buku : Impian dari Yogyakarta
Penulis : Y.B. Mangunwijaya
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Februari, 2003
Tebal : xxvii + 308 halaman

Romo yusuf Bilyarta (YB) Mangunwijaya Pr. Yang lebih dikenal dengan sebutan Romo Mangun, selain sering kita dengar sebagai tokoh rohaniawan, budayawan, novelis, arsitek dan pekerja social, Beliau juga dikenal sebagai pemerhati pendidikan, khususnya pendidikan Sekolah Dasar (SD). Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan 39 essay pemikiran-pemikirannya tentang masalah pendidikan yang pernah dimuat dalam harian Kompas.
Dengan membaca buku ini, pembaca diajak menilik sekilas system pendidikan pada era kolonial Belanda yang waktu itu bertujuan sebagai politik Etis salah satu Trilogi Van de Venter (edukasi). Dilihat dari segi positifnya, ternyata pendidikan zaman kolonial dapat menghasilkan Soekarno, Hatta, Adam Malik, Syahrir, KH. Dewantoro dan perintis-perintis Negara lainnya. Hal tersebut disebabkan karena system pendidikan pada waktu itu memaksa para siswanya untuk selalu berpikir, bereksplorasi, aktif dan observatif. Murid-murid SD sudah harus mengerahkan nalar dan daya analisa dengan membuat pertanyaan-p[ertanyaan, karangan kecil, menghafal dan mempelajari bahasa Belanda (bahasa asing pada zaman tersebut) yang dimaksudkan untuk memperluas cakrawala siswa.
Benar apa yang diucapkan Romo Mangun bahwa tidak etis memang jika kita membandingkan peserta didik zaman dulu dan sekarang. Akan tetapi, tetap menyenangkan dan dapat mengambil hikmahnya. Lulusan SD seperti Adam Malik atau lulusan SMP seperti Soedirman dapat menjadi seorang pejabat atau panglima yang bersahaja dan dikagumi karena intelektualitas dan sikapnya dalam mengemban tugas yang mempertaruhkan segalanya demi Negara tercinta. Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah banyak putra Indonesia sekarang yang banyak mendapatkan medali dalam olimpiade, cendekia maupun insinyur yang mampu menembus dunia internasional, tapi mengapa masih banyak rakyat yang masih terperangkap dalam lingkaran kebodohan? Mengapa pendidikan di Indonesia masih etrpuruk dalam kemajuan pendidikan yang sudah dibangga-banggakan?Mungkin masih banyak pertanyaan mengapa, mengapa, dan mengapa yang terlintas di otak kita. Namun, Romo Mangun berusaha menjawab bahwa pendidikan masih terpuruk karena kesalahan system pendidikan yang diterapkan bukan hanya kesalahan kinerja guru semata sebagai profesi yang mendapat tanggung jawab dalam proses pendidikan.
Seperti yang dibahas Romo Mangun dalam essay yang berjudul “Ikan dalam Air”, pendidikan adalah proses pengembangan pengetahuan serta sikap hidup pada diri manusia atau bangsa dalam arti utuh, keseluruhan. Nah yang terjadi di Indonesia adalah pemisahan antara sekolah formal, informal, dan nonformal. Akibat persepsi yang lebih tingginya sekolah formal disbanding jalur informal dan nonformal. Padahal jika digabungkan, peserta didik tentu belajar tidak hanya meningkatkan kognitisnya saja, tetapi keterampilan hidup (psikomotorik) dan afektifnya juga. Setiap peserta didik adalah mahaguru dirinya sendiri yang belajar dari seluruh masyarakat sebagai sekolahnya. Sedangkan yang disebut guru sekarang adalah teman yang akan membimbing dan mengarahkan peserta didik dalam pembelajaran. Biarlah anak tetap sebagai anak, bukan sebagai robot yang dididik untuk siap pakai dalam berbagai kepentingan (social, politik, budaya, ekonomi, dan hankam). Anak dididik supaya kreatif penuh inovasi, dan selalu bereksperimen menemukan sendiri ilmu pengetahuan seperti kelima impian Romo Mangun yang diuraikan dalam essay “Impian dari Yogyakarta” yaitu:
Impian pertama. Romo bermimpi jika sila kemanusiaan yang adil dan beradab juga diterapkan pada anak, maka diperlukan dengan segera perangkat Undang-undang yang efektif melindungi anak dalam segala aspek terhadap kelaliman orang dewasa termasuk ayah, ibu, maupun saudaranya.
Impian kedua. MPR dan DPR RI sesudah pemilu nanti akan beramanat tentang pelaksanaaan mukadimah UUD 1945 dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.
Impian ketiga. Impian Romo tentang UU pokok pendidikan yang sejati, komprehenship, yang menyentuh pengajaran dan pendidikan seutuhnya.
Impian keempat. Wajib belajar 9 tahun sudah dikentongkan, berarti semua anak dibawah umur 15/16 tahun harus bersekolah gratis atas tanggungan Negara dan masyarakat.
Impian kelima. Sekolah negeri diperuntukkan istimewa bagi anak-anak 3-4K (Kaum Kecil Kurang Kumuh, Kaki lima*) bukan untuk anak 2K (Kaya Kuasa) atau 2K yang lain (konglomerat dan kolusi).
Memang haru sdiakui bahwa permasalahan pendidikan tidaklah sesederhana yang diimpikan dalam essay ini. Namun, perlu diingat bahwa seratus tahun yang lalu timbul kebangunan impian, impian Indonesia merdeka yang nyaris tidak mungkin. Ternyata terkabul…..
(Natiq-Okt’08).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo, posting comment Anda demi perbaikan