Sabtu, 17 April 2010

Ronggeng Dukuh Paruk

Natiqotul Muniroh
07204241003
LAPORAN APRESIASI SENI
Drama Jawa Musikal “Ronggeng “

“Aku hanya ingin menjadi ronggeng yang utuh,
Bukan karena harta….
Bukan karena nafsu birahi…..
Aku hanya ingin menari.”

Untaian kata itu merupakan ungkapan isi hati Srintil, tokoh utama dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Mengangkat dari cerita novel tersebut, UKM Kamasetra UNY mencoba mementaskannya dalam Drama Jawa Musikal “Ronggeng” pada Rabu malam, 07 Mei 2008 di Stage Tari Fakultas Bahasa dan Seni UNY. Drama tersebut diselenggarakan pada malam puncak rangkaian peringatan HUT ke-27 UKM Kamasetra. Drama yang disutradarai ole Dian Korpri tersebut teebilang sukses dan penonton begitu antusias untuk menikmatinya.
Pementasan Ronggeng diawali dengan percakapan tiga warga desa yang mengundang naiknya para pemusik dari arah tempat duduk penonton yang memenuhi ruangan ke tempat iringan gamelan. Para pemusik juga mengenakan pakaian khas pedesaan yang menambah setting menjadi semakin hidup. Suasana pedesaan di Banyumas juga divisualisasikan dengan bahasa dan dialek ngapaknya yang kental, serta melalui setting panggung dan iringan gamelan yang dipimpin oleh Adi S.
Tujuh penari membuka babak pertama dengan tarian yang berakhir dengan tewasnya para penari karena keracunan tempe bongkrek. Terdengar teriakan kesakitan sesaat sebelum babak pertama usai. Bulan, pemeran tokoh Srintil, malam itu cukup menghayati perannya menjadi ronggeng yang saat ini mulai saat ini jarang dijumpai. Ronggeng itu berdandan sensual dan berlagak sedikit centil. Dia menari dengan gerakan-gerakan lincah khas tarian lengger yang erotik, terkesan lebih terpancarkan dengan adanya siluet-siluet pada layar panggung.
Drama Ronggeng menceritakan Dukuh Paruk, sebuah dukuh yang miskin merasa kehilangan jati dirinya sejak kematian ronggeng akibat bencana keracunan tempe bongkrek sejak sebelas tahun silam. Dukuh tersebut kembali bersemangat sejak lahirnya Srintil yang ditakdirkan menjadi seorang ronggeng. Dengan segera ia menjadi ronggeng yang cantik dan disayangi banyak orang. Hidupnya menjadi menderita sejak ia dilanda asmara dengan Rasus. Dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikat diri dengan seorang lelaki. Namun ia tetap mencintai Rasus walaupun ia harus melayani laki-laki yang menginginkannya. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak dan tidak bisa menerima keadaan. Malapetaka politik tahun 1965 telah menyeret Srintil ke penjara. Pengalaman pahitnya telah membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Setelah ia bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak mau lagi melayani para lelaki manapun dan ia ingin menjadi wanita rumahan. Ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul. Namun, ternyata Srintil kembali terhempas, kali ini tambah meluluhlantahkan jiwanya. Drama ini berending bahagia, Srintil yang telah menjadi seorang yang tidak waras dapat bertemu kembali dengan Rasus, seorang yang sangat dicintainya. Bahkan, Rasus keukeuh akan mengobati dan menikahi Srintil.
Puncak dari drama tersebut terlihat pada saat Srintil melakukan tradisi Bukak Klambu dan saat ending cerita, saat Srintil dapat bersatu lagi dengan Rasus. Babak-babak yang lain sebagai ornament pendukung. Satu hal yang perlu dicatat dari pertunjukan malam itu adalah kemampuan para pemain dan kru, terutama Bunga sebagai pemeran utama, mereka dapat menghadirkan seni pertunjukan rakyat tradisional itu dalam arena pertunjukan “formal”. Seni tradisi yang bebas, interaktif dengan penonton, serta humor segar baik melalui verbal maupun gerakan yang sering muncul. Simak misalnya dialog pak kaum dengan seorang salesman, ketika Srintil yang sudah tidak waras bertemu lagi dengan Rasus dan sebagainya.
Dengan durasi sekitar satu jam, sulit rasanya untuk mengatakan drama Ronggeng sebagai visualisasi dari cerita novelnya. Namun, UKM Kamasetra telah berhasil menyajikan dan menyampaikan inti cerita Ronggeng Dukuh Paruk dalam drama tersebut. Dan itu yang harusnya mendapat apresiasi tinggi dari kita sebagai penikmat sastra dan budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo, posting comment Anda demi perbaikan