Minggu, 18 April 2010

STYLE PARENTING JAWA DAN IRIAN

Membandingkan pola asuh orang tua antara dua keluarga memang ada persamaan mengingat bahwa kita masih dalam satu kebudayaan universal, suku atau daerah yang sama. Namun, meskipun begitu tetap terdapat perbedaan yang walaupun dalam satu lingkup yang sama, misalnya dalam satu pedesaan.
Saya sangat bersyukur terlahir dalam keluarga yang sederhana. Dalam mengasuh anak, oran tua saya dapat dibilang cukup demokratis. Orang tua masih masih menuruti apa yang menjdi keinginan anak-anaknya selama masih dalam batasan yang wajar. Sejak kecil, saya dan saudara-saudara saya sudah dibiasakan untuk mandiri. Untuk mengerjakan keperluan pribadi, tugas sekolah, perintah dari orang tua, dan pekerjaan rumah sehari-hari kami dilatih untuk mengerjakan sendiri sesuai dengan kemampuan sebelum meminta bantuan dari orang lain. Hal tersebut dapat saya pahami karenapendidikan yang melatarbelakangi beliau cukup tinggi untuk lingkungan tempat tinggal kami yang di desa. Selain itu, profesi yang digeluti yaitu ibu sebagai guru dan ayah sebagai wiraswasta membuat orang tua saya lebih terbuka terhadap dinamika zaman dan perkembangan anak terutama dalam hal pendidikan. Untuk pendidikan anak-anaknya, orang tua sangat mendukung baik itu pendidikan formal, nonformal maupun informal. Untuk pendidikan formal, kami disekolahkan dari TK, SD, SMP SMA, PT dan memilihnya atas pertimbangan kualitas. Untuk nonformalnya, kami dibiasakan mengaji dan mengikuti les atau kegiatan organisasi. Sedangkan informalnya, saya meneladani sikap orang tua saya yang membuat lingungan keluarga cukup harmonis dan menyenangkan. Kami dibiasakan untuk makan bersama, kumpul bersama untk keakraban dan berdialog. Dalam bergaul, tidak ada batasan tertentu, kami dibebaskan dalam berteman dengan siapapun asal dapat menjaga diri daloam dalam batas kesopanan. Untuk aktivitas di luar rumah seperti bermain atau organisasi masih diperbolehkan, bahkan didukung kalau aktivitas tersebut bermanfaat. Namun, menurut apa yang saya rasakan, orang tua saya belum sepenuhnya demokratis secara sempurna. Hal itu dikarenakan kami dituntut untuk menjadi seseorang yang bisa memahami keinginan beliau, terutama ayah. Misalnya, dalam memilih lembaga pendidikan harus sesuai dengan persetujuan beliau. Walaupun, akhirnya kami dapat memilih sendiri pendidikan apa yang kami inginkan, tapi masih memerlukan waktu, kesabaran, dan perjuangan agar beliau dapat mengerti bahwa kami memang benar-benar serius dalam apa yang menjai pilihan kami. Dalam sisi otoriternya, beliau cenderung memaksakan apa yang menjadi kehendaknya dan dan dalam sisi permisifnya, beliau cenderung memenuhi kebutuhan anak-anak dengan tidak begitu memahami apa yang dibutuhkan anaknya. Di luar semua itu, orang tua saya termasuk orang tua yang demokratis yang mau menghargai anak-anaknya.
Dalam suatu hari setelah mendapat tugas membandingkan style parenting antara dua keluarga, saya sangat tertarik untuk mengetahui pola asuh orang tua teman saya yang asli berasal dari Papua. Dari hasil perbincangan kami lewat telepon, diperoleh hasil bahwa pola asuh orang tua di Papua cenderung otoriter. Sikap dasar yang keras, tidak membuat mereka segan untuk memukuli anak-anaknya yang tidak mau bekerja, tidak berangkat sekolah, bertengkar dengan saudara sendiri dan bagi yang membantah orang tua. Pukulan akan terus melayang ke badan anak sebelum keluar darah. Setelah anak berdarah-darah, baru mereka puas dan menghentikan pukulannya. Selain itu, jika anak pulang ke rumah telah melewati waktu makan malam, jangan harap menemukan sesuatu untuk dimakan, karena mereka tidak menyisakan sedikit pun makanan bagi yang terlambat pulang. Orang tua di Papua cenderung menggunakan hukuman fisik dalam memberi sanksi anak-anaknya. Anak-anak telah dibiasakan bekerja sejak usia 5 tahun. Untuk laki-laki diajak melaut atau berburu di hutan. Sedangkan anak perempuan membantu ibunya dalam pekerjaan rumah dan berkebun. Meskipun anak laki-laki lebih didahulukan karena dianggap dapat menambah marga atau famili, orang tua tidak membeda-bedakan anak laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, mereka sama-sama memeroleh hak yang sama. Misalnya dalam mengungkapkan kasih saying, orang tua memberikan uang atau membelikan sesuatu untuk anaknya sama rata.
Walaupun berwatak keras, orang tua Papua jujur, dan terus terang terhadap anak-anaknya. Mereka pun juga sangat senang melihat anaknya bersekolah, misalnya teman saya yang bernama Santi Mambrasar (Perempuan) itu didukung bersekolah sampai kuliah di Akmi sebagi calon nahkoda. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh pekerjaan orang tuanya yang sebagai nelayan, sehingga orang tua menaruh harapan penuh pada anak-anaknya agar menjadi orang yang berhasil. Masalah pergaulan, dikatakan Santi bahwa tidak ada batasan asal masih dalam hal yang baik dan wajar, serta dilarang untuk mabuk-mabukan.

1 komentar:

ayo, posting comment Anda demi perbaikan