Sabtu, 17 April 2010

Ya Qowiyyu

Makalah Apresiasi Budaya

Menumbuhkan Sikap Apresiatif terhadap Upacara Tradisi Ya Qowiyyu

Disusun oleh :
Natiqotul Muniroh 07204241003
Inggit Anggorowati 07204241029

Program studi Pendidikan Bahasa Perancis
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
2007

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lunturnya sikap apresiatif generasi muda Indonesia saat ini membuat sebagian budaya asli Indonesia sangat sulit dijumpai, bahkan terancam punah eksistensinya. Hal itu disebabkan masuknya berbagai budaya dari luar negeri terutama dari Negara barat yang dianggap sebagai budaya modern sehingga kita sendiri tidak percaya diri terhadap budaya sendiri. Bahkan, memadang aneh atau memandang budaya sendiri ketinggalan zaman (kuno). Terbukanya sikap bangsa Indonesia terhadap budaya luar hendaknya dilaksanakan secara selektif dan tetap memiliki apresiasi tinggi terhadap budaya asli. Sehingga diharapkan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat atas jati dirinya, modern (maju), dan terhindar dari penjajahan fisik maupun nonfisik. Untuk itu, pelajaran tentang apresiasi budaya perlu diberikan dan ditanamkan pada masyarakat Indonesia agar menghargai budaya asli dan selektif terhadap budaya luar yang sering dianggap menjadi trade mark manusia modern.
Pada makalah yang berjudul “Menumbuhkan Siakp Apresiatif terhadap Upacara Tradisi Ya Qowiyyu” ini, kami berusaha mengkaji perayaan Ya Qowiyyu di Jatinom, kabupaten Klaten yang masih dapat dijumpai sampai sekarang. Setelah kami melihat perayaan Ya Qowiyyu melalui video pembelajaran, kami merasa cukup tertarik untuk mengkajinya dalam bahasan diskusi tugas makalah Apresiasi Budaya. Karena, perayaan Ya Qowiyyu merupakan upacara tradisi unik yang belum pernah kami ketahui sebelumnya. Disamping itu, di daerah kami juga terdapat semacam tradisi Ya Qowiyyu tetapi berbeda prosesinya, yaitu Keba Palawija dan Pethik Tirta.
Melalui berbagai kegiatan untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap tradisi Ya Qowiyyu yang salah satunya dengan diskusi makalah, diharapkan generasi penerus lebih menghargai tradisi budaya Ya Qowiyyu yang masih tergolong asing dalam kehidupan kita, sehingga dapat tetap eksis dan memperkaya khazanah budaya Indonesia.



PEMBAHASAN

Sejarah Tradisi Ya Qowiyyu
Tradisi Ya Qowiyyu menurut cerita lisan yang berkembang, berasal ketika Kiai Ageng Gribig sepulang ibadah haji dari Mekah. Beliau membawa oleh-oleh berupa kue apem dan bermaksud membagi kue tersebut kepada keluarga dan para tetangga, tapi ternyata kurang. Maka, Nyai Ageng Gribig disuruh membuat kue semacamnya dibantu para tetangganya. Saat menyebar kue-kue apem itulah, Kiai Ageng Gribig berseru “Ya Qowiyyu! Ya Qowiyyu!” yang artinya “Ya Allah, berilah kekuatan”. Tamsil itu memberi pelajaran kepada masyarakat Jatinom yang memeluk agama Islam agar berbuat amal saleh dalam hidupnya.

Prosesi dan Perkembangan Tradisi Ya Qowiyyu
Upacara ini mulai pertama kali berbentuk majelis pengajian yang dikunjungi oleh umat Islam dan masyarakat sekeliling Jatinom. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun sekali pada hari Jumat Legi pertengahan bulan Sapar. Setelah doa untuk menutup pengajian, tamu dihormati dengan hidangan kue apem seperti yang dilakukan oleh Kiai Ageng Gribig. Majelis ini setiap tahunnya masih dilakukan sampai sekarang. Tetapi pada perkembangannya, tradisi Ya Qowiyyu mengalami perubahan walaupun makna dan tujuan intinya tetap sama, yaitu meminta kekuatan kepada Allah SWT. Sebelum acara puncak perayaan Ya Qowiyyu, diadakan pasar malam selama seminggu yang didalamnya diadakan aneka macam kegiatan rakyat dan menjual bermacam-macam barang. Selain itu, juga diadakan ziarah yang bertujuan untuk mendoakan ulama besar Kiai Ageng Gribig. Selanjutnya, panitia menyusun kue apem menjadi gunungan sebagai hiasan untuk menimbulkan daya tarik. Malam Jumatnya, diadakan pengajian dan dzikir Ya Qowiyyu secara massal. Puncak perayaan Ya Qowiyyu siang hari setelah sholat Jumat. Gunungan apem dikirab dari Masjid Besar Jatinom menuju ke lapangan. Prosesi ini diiringi bermacam-macam kesenian, seperti ondel-ondel, musik hadrah, dan tampilnya simbolisasi Kiai Ageng Gribig beserta santrinya. Setelah dilakukan doa, pejabat pemerintah Kabupaten Klaten mucuki menyebar apem dari panggung kehormatan. Selanjutnya, apem disebar petugas dengan berseru “ Ya Qowiyyu! Ya Qowiyyu! (seperti yang dilakukan Kiai Ageng Gribig) dari panggung setinggi lima meter yang terletak pada dua sudut lapangan. Tampak massa yang berjumlah ribuan rela berjejalan untuk mendapatkan kue apem yang terbuat drai tepung beras itu. Tak pandang anak-anak, remaja atau dewasa, pria-wanita. nereka saling desak, saling dorong, kadang terjengkang atau bahkan bergulingan di tanah. Ritual Ya Qowiyyu niscaya menjadi sebuah atraksi yang menimbulkan gairah bagi masyarakat yang terlibat. Itu disebabnya, tradisi Ya Qowiyyu tetap menarik bagi masyarakat sekitar. Mereka adalah masyarakat budaya agraris tradisional yang mengalami pertemuan dengan budaya Islam.
Dewasa ini, banyak penduduk di Jatinom yang membuat kue apem, tetapi kue-kue apem itu dijual kepada pengunjung dengan harga 200 rupiah per kue. Bagi pengunjung yang berniat ingin mendapatkan berkah dari Kiai Ageng Gribig, harus menyerahkan apem berikut uang sekadarnya. Mereka mendapat imbalan segenggam bunga telon yang terdiri dari mawar merah-putih dan kenanga sebagai tanda apemnya telah diberi berkah.

Kajian Apresiasi Budaya terhadap Tradisi Ya Qowiyyu
Di Indonesia banyak adat budaya tradisi yang dimiliki masimg-masing daerah. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus memiliki kesadaran untuk memiliki dan menumbuhkan sikap apresiatif terhadap budaya-budaya asli Indonesia. Jangan semata-mata kita hidup di era modern yang mengalami cross culture dengan budaya luar sehingga melunturkan budaya sendiri yang merupakan warisan turun-temurun.
Dalam makalah ini akan dikaji tahapan-tahapan apresiasi budaya pada tradisi Ya Qowiyyu. Sehingga diharapkan kita dapat memahami dan mengenal secara tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap tradisi Ya Qowiyyu yang masih dilestarikan sampai sekarang. , walaupun tingkat apresiatif masing-masing individu berbeda. Tentu dapat dilihat, pada masyarakat Klaten dan sekitarnya sebagia besar telah memiliki sikap apresiatif yang tinggi tehadap Ya Qowiyyu. Sedangkan kita sebagai pihak yang belum merasa mempunyai dan belum mengetahui tentang tradisi tersebut sehingga dipastikan belum memiliki apresiasi perlu diajarkan mata kuliah Apresiasi Budaya yang bertujuan menumbuhkan apresiasi terhadap tradisi Ya Qowiyyu melalui tahapan sebagai berikut :

1. Menggemari
Kami sedikit banyak telah menyenangi tradisi Ya Qowiyyu yang ditandai dengan adanya rasa tertarik setelah kami mendengar, menonton video perayaan Ya Qowiyyu, membaca artikel dari internet sehingga secara tidak langsung kami terlibat pada perayaan walaupun masih dalam imaginative, emosional, dan intelektual. Karena, setelah kita mengetahui tradisi Ya Qowiyyu dari media membuat kami mempunyai gambaran dan berfikir mengenai perayaan tersebut.
2. Menikmati
setelah kita melihat perayaan Ya Qowiyyu dan mencari tahu tentang hal yang berkaitan dengan perayaan Ya Qowiyyu tentu menambah wawasan dan pemahaman kami terhadap tradisi-tradisi yang terdapat dalam masyarakat sehingga menimbulkan kekaguman dari dalam diri tentang tradisi tersebut yang belum pernah kami ketahui sebelumnya. Karena kami juga merasakan secara imaginative dan mengambil makna pengetahuan dari sumber lain (artikel, media visual, pendapat teman, dsb.)
3. Mereaksi
Reaksi terhadap tahap menggemari dan menikmati tradisi Ya Qowiyyu dibuktikan dengan adanya pendapat masing-masing individu yang dinyatakan dalam presentasi dan diskusi makalah Apresiasi Budaya ini. Hal itu tentunya menimbulkan daya intelektualitas kita mulai bekerja karena kita sudah mulai berfikir dan bertanya jawab tentang makna pengalaman dari hasil budaya yang kita diskusikan. Sehingga akan muncul rasa menghargai terhadap tradisi Ya Qowiyyu , yang tentunya dalam tingkat apresiasi yang berbeda. Dan, itupun harus dihormati oleh masing-masing individu.
4. Memproduksi
Untuk tahap produksi, mungkin untuk saat ini, kami hanya menghasilkan makalah berjudul “Menumbuhkan Sikap Apresiatif terhadap Upacara Tradisi Ya Qowiyyu” dan berbagai pendapat mengenai tradisi tersebut yang kami tulis dalam makalah berdasarkan apa yang kami dapat setelah memahami perayaan Ya Qowiyyu. Dan kalaupun terdapat ide baru itu pun belum dapat direalisasikan secara nyata pada tradisi Ya Qowiyyu. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya realisasi dalam tradisi Ya Qowiyyu agar tetap lestari tetapi tidak menyimpang dari ajaran agama.
Seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya, masing-masing individu mempunyai tingkatan apresiasi yang berbeda. Disini kami akan menguraikan tingkatan apresiasi yang secra umum dimiliki kita saat ini, yaitu :
1. Penikmatan
Kami telah mendengar, menonton, membaca artikel dan menanyakan pendapat kepada teman-teman tentang perayaan Ya Qowiyyu yang sebelumnya belum pernah kami mengerti sama sekali dan kami merasa cukup senang melihat keunikan tradisi Ya Qowiyyu tersebut yang tidak terdapat di daerah kami, tetapi juga ada tradisi semacam itu, yaitu tradisi merti desa Pethik Tirta dan Keba Palawija.
2. Penghargaan
Setelah kami mengetahui upacara tradisi Ya Qowiyyu, kami mengetahui juga tentang kebaikan dan manfaat diadakan upacara tersebut khususnya bagi masyarakat Klaten dan sekitarnya , yaitu sebagai sarana sedekah meminta berkah (kekuatan) dan agar meningkatkan hasil panen. Sedangkan, bagi masyarakat umum dapat diambil pelajaran yaitu beramal saleh dalam kehidupannya.
3. Pemahaman
Kami telah mencoba memahami tradisi Ya Qowiyyu dari pengertian, sejarah, dan prosesi upacaranya yang sudah kami sampaikan sebelumnya. Selain itu ada juga unsur intrinsik dan unsure ekstrinsik. Unsur intrinsik terdapat dala penyebaran apem yang menjadi tradisi tradisi masyarakat Jatinom warisan dari Kiai Ageng Gribig sedangkan unsur ekstrinsik dapat dilihat dari perkembangan dari pengaruh luar yang sebelumnya tidak ada, misalnya: dibuat gunungan seperti di kraton , adanya ondel-ondel seperti di Betawi, musik hadrah dan pasar malam.



4. Penghayatan
Perayaan Ya Qowiyyu termasuk kebudayaan Islam kejawen yang merupakan percampuran budaya Islam dan budaya Hindu. Hal itu terlihat pada malam Jumat sebelum pucak perayaan Ya Qowiyyu diadakan tahlilan, dzikiran dan doa massal serta pada saat melempar apem sambil berseru Ya Qowiyyu! Ya Qowiyyu! sebagai doa untuk meminta kekuatan pada Allah SWT. Namun, disamping itu juga pada saat prosesi, apem disusun dalam dua gunungan. Gunungan kakung (pria) adalah sumbangan dari kraton Yogyakarta dan gunungan estri (wanita) adalah sumbangan dari kraton Surakarta. Kemudian gunungan apem dikirab seperti prosesi budaya tradisional Jawa lainnya yang merupakan warisan budaya Hindu, menuju Masjid Besar Jatinom. Hal itu menampakkan terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya masyarakat tradisional warisan budaya Hindu yang disebut dengan Islam kejawen
5. Implikasi
Perayaan Ya Qowiyyu tidak menutup kemungkinan untuk melahirkan ide baru sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam melestarikan tradisinya. Karena pasti ada improvisasi dari tahun- tahun sebelumnya. Bagi masyarakat yang tidak terlibat secara langsung, mungkin hanya dapat menghargai sebagai hasil budaya daerah lain yang perlu dihormati keberadaannya atau langkah selanjutnya adalah membuat semacam diskusi untuk lebih mengenal tradisi Ya Qowiyyu. Sehingga dapat menumbuhkan sikap apresiatif dalam masyarakat yang diharapkan mendapatkan hasil apresiasinya dalam mencapai nilai material, moral, maupun spiritual untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya. Karena, tradisi Ya Qowiyyu selain sebagai sarana sedekah dan beribadah, tradisi ini juga dapat digunakan sebagai wisata ritual.


PENUTUP

Tradisi Ya Qowiyyu dari Sudut Pandang Penyusun
Tradisi Ya Qowiyyu adalah salah satu dari sekian banyak tradisi lokal yang terdapat di Indonesia. Menurut kami, apresiasi terhadap tradisi lokal khususnya Ya Qowiyyu tentu dimiliki oleh masing-masing individu dalam tingkatan yang berbedayang juga harus dihormati. Pada masyarakat yang memiliki tingkatan apresiasi yang tinggi tentu merupakan suatu warisan budaya yang sangat penting dan harus dilestariakan eksistensinya, akan tetapi, bagi kita secara umum, tentu mengapresiasikan tradisi bukan hal yang mudah untuk menerapkan sesuai dengan teorinya, minimal kita mengapresiasikan suatu tradisi budaya dengan cara mengenal, memahami dan menghormati tradisi budaya sebagia hak dan jati diri dari daerah yang memilikinya.
Tradisi Ya Qowiyyu sebenarnya perlu dilestarikan Karena terdapat pendidikan moral dan spiritual serta dapat digunakan sebagai aset wisata ritual yang m,enghasilkan sumber pendapatan daerah. Asalkan, makna dan tujuan ndari perayaan tradisi Ya Qowiyyu tidak menyimpang dari syariat agama Islam yang dianut masyarakat Klaten dan sekitarnya. Karena menurut kami, makna dan tujuan tradisi Ya Qowiyyu dan tradisi budaya lainnya masih harus diluruskan disebabkan sering kali masyarakat yang mempercayainya salah kaprah dalam memahami makna dan tujuan. Misalnya, mereka menganggap bahwa apem mempunyai berkah yang dipercaya dapat meningkatkan hasil panen. Sehingga mereka berusaha keras untuk mendapatkannya. Padahal, dahulunya, Kyai Ageng Gribig membagikan kue apem hanya sebagai oleh-oleh dari Mekah. Sebaiknya tradisi Ya Qowiyyu tetap dilestarikan sebagai semacam festival tahunan masyarakat Jatinom tanpa mencampuradukan syariat Islam dengan kepercayaan dinamisme. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan syirik dari tradisi Ya Qowiyyu dan tradisi budaya yang lain bukannya mencapai tujuan yang diharapkan.




Membandingkan Tradisi Ya Qowiyyu dengan tradisi Pethik Tirta di Purworejo
di kota kami tercinta, Purworejoada juga tradisi semacam Ya Qowiyyuyang juga masih dilestarikan sampai sekarang, yaitu tradisi Pethik Tirta dan Keba Palawija. Tradisi tersebut memiliki makna dan tujuan yang sama yaitu mengharapkan hasil panen meningkat. Dan perbedaannya terdapat pada prosesi dan sejarahnya. Disini kami hanya akan menguraikan tentang tradisi Pethik Tirta karena lebih dapat kami pahami dengan mudah.
Tradisi Pethik Tirta merupakan upacara selamatan desa (merti desa) yang dijadikan tradisi di desa Jenar Lor, kecamatan Purwodadi. Pethik Tirta secara etimologis berarti mengambil air. Tradisi ini adalah mengambil air dari sumur talang yang dipercaya membawa berkah. Menurut kepercayaan, ketika masa Hindu daerah ini diperintah oleh Bethara Loano yang mengalirkan air menuju persawahan kering di daerah Bulak Kethip dengan cara membuat talang (bambu yang disusun memanjang) dari sumber air Tuk Mudal, desa Mudal, kecamatan Purworejo. Ketika aliran air sampai di desa Jenar Lor, tepatnya di dusun Talang Bagus, talang itu terputus dan mengalirkan air terus menerus. Sehingga terbentuk cekungan yang akhirnya menjadi sumur. Kemudian Bethara Loano mengguanakan tempat itu sebagai peristirahatan saat menggarap sawah. Dan karena kesaktiannya, air yang berasal dari sumur Talang tersebut dipercaya membawa berkah. Kepercayaan ini masih berkembang sampai sekarang, sebagaimana ditunjukkan dengan datangnya banyak orang pada hari biasa dan hari tertentu untuk keperluan ngalap berkah, misalnya Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.
Untuk prosesinya, juru kunci terlebih dulu membakar kemenyan dan dupa di depan sumur, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan air menggunakan timba yang dipercayai dapat digunakan untuk diminum, cuci muka/mandi bahkan dibawa pulang. Upacara diawali dengan kirab tumpeng mengelilingi desa dan seterusnya menuju pendopo Sumur Talang. Tampaknya upacara Pethik Tirta merupakan budaya asli masyarakat lokal yang berinteraksi dalam proses akulturasi dengan budaya Hindu, Budha dan Islam. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun sekali pada bulan Rajab yang disertai dengan pertunjukan wayang kulit.
Upacara Pethik Tirta di desa Jenar Lor sudah berlangsung lama dan dijadikan aktifitas rutin tahunan dengan tujuan utama yakni, pertama untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya hingga masyarakat dapat mengadakan panen raya. Kedua, Pethik Tirta sebagai wujud terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada leluhur yaitu B ethara Loano yang telah membuka sumur dan lahan persawahan sehingga sekarang. Ketiga, Pethik Tirta merupakan wujud permohonan agar warga desa diberikan keselamatan lahir dan batin, kesehatan, panjang umur serta murah rejeki.


Daftar Pustaka

Riyanto, Eko. Deskripsi Upacara Tradisi Merti Desa “ Pethik Tirta”. Purworejo: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Purworejo
Soegino. Upacara Adat Merti Desa Keba Palawija di Desa Somangari. Purworejo : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Purworejo
Video pembelajaran “Upacara Tradisi Ya Qowiyyu dan Pesta Ruwatan Rambut Gimbal
www.google.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo, posting comment Anda demi perbaikan